BAB I
PENDAHULUAN
A
LATAR
BELAKANG
Masalah transplantasi ini sudah
pasti merupakan masalah yang termasuk perkara ijtihadiyah, dimana untuk
menentukan hukumnya memerlukan pemikiran dan penggalian sungguh-sungguh
(ijtihad), dalam melakukan transplantasi organ tubuh manusia ini akan
melibatkan donor (pemberi organ) dan resepien (penerima organ) dan akan terkait
pula dengan motivasi yang melatarbelakanginya, begitu pula dengan masalah
tranfusi darah.
B
RUMUSAN
MASALAH
1.
Transplantasi Anggota Tubuh
2.
Transfusi darah.
C
TUJUAN
PEMBELAJARAN
Maksud diwujudkannya hokum fiqh adalah untuk menjawab
permasalahan kontemporer.
BAB II
TRANSPLANTASI
ANGGOTA TUBUH DAN RANFUSI DARAH
A.
TRANSPLANTASI
ANGGOTA TUBUH
1.
Pengertian
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to
transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu
tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran,
transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke
tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian
terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu. Yang
dimaksud organ ialah : Kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga
merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati
dan lain-lain.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab
kontemporer dikenal dengan istilah naql al-a’da’ atau juga disebut dengan zar’u
al-a’da’ . Kalau dalam literatur Arab klasik transplantasi disebut dengan
istilah al-wasl (penyambungan). Adapun pengertian transplantasi secara
terperinci dalam literatur Arab klasik dan kontemporer sama halnya dengan
keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih
dikenal dengan istilah pencangkokan.
2.
Pendapat Ulama Tentang Transplantasi
Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik
sepakat bahwa menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama
organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan pakar hukum Islam kontemporer berbeda
pendapat akan boleh dan tidaknya transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini
pernyataan para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer:
Imam al-Nawawi (w. abad VI) dalam karyanya
Minhaj al-Talibin mengatakan.
وَلَو
وَصَلَ عَظَمُهُ بِنَجْسٍ لِفَقْدِ الطَّاهِرِ فَمَعْذُوْرِ وَإِلاَّ وَجَبَ نَزْعُهُ
إِنْ لمَ ْيَخْفَ ضَرَرًا ظَاهِرًا قِيْلَ وَإِنْ خَافَ, فَإِنْ مَاتَ
لَمْ يَنْزَعْ عَلَى الصَّحِيْحِ.
“Jika
seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang
yang suci maka hukumnya udhur (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang
suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak
menimbulkan bahaya, dikatakan jika membahayakan atau (menimbulkan) kematian
maka tidak mengambilnya (tulang tersebut) itu dibolehkan”
B.
DONOR
DARAH
1.
Pengertian Donor Darah
Donor darah adalah proses dimana penyumbang
darah secarasuka rela diambil darahnya untuk disimpan di bank darah, dan
sewaktu-waktudapat dipakai pada transfusi darah. Usaha transfusi darah
diIndonesiadilakukan oleh Palang MerahIndonesiadan Departemen Kesehatan dengan
diatur oleh PP RI No. 18 tahun 1980 tentang Transfusi Darah.
2.
Manfaat donor darah
Kegiatan donor darah antara lain bermanfaat
untuk :
a.
Sarana amal kemanusiaan bagi yang sakit,
kecelakaan, operasi dan lain-lain.
b.
Orang yang aktif donor jarang terkena penyakit
ringan maupun berat (pengalaman di perusahaan membandingkan sebelum dan setelah
adanya kegiatan donor darah tingkat yang sakit turun hamper 50 %)
c.
Pemeriksaan ringan secara triwulan
meliputi tensi darah, kebgaran Hb, gangguan kesehatan (hepatitis, gangguan
darah dan lain-lain)
d.
Mencegah stroke (pria lebih rentan terkena
stroke disbanding wanita karena wanita keluar darah rutin lewat menstruasi,
untuk pria sarana terbaik yakni dengan dono darah)
3.
Hukum Donor Darah
Hukum Donor Darah dari dan untuk Sesama Muslim
Menurut Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim
Aali Syaikh rahimahullah secara khusus menjawab hukum donor darah sebagai
berikut :
a.
Yang boleh menerima darah yang didonorkan
adalah orang yang berada dalam keadaan kritis karena sakit ataupun terluka dan
sangat memerlukan tambahan darah. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala:
$yJ¯RÎ) tP§ym
ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$#
tP¤$!$#ur zNóss9ur
ÍÌYÏø9$# !$tBur
¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/
ÎötóÏ9 «!$#
( Ç`yJsù §äÜôÊ$#
uöxî 8ø$t/
wur 7$tã
Ixsù zNøOÎ)
Ïmøn=tã 4
¨bÎ) ©!$#
Öqàÿxî íOÏm§
ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. 2:173)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Ç`yJsù §äÜôÊ$#
Îû >p|ÁuKøxC
uöxî 7#ÏR$yftGãB
5OøO\b}
¨bÎ*sù ©!$#
Öqàÿxî ÒOÏm§
ÇÌÈ
“Maka barangsiapa terpaksa
karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. 5:3)
Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
“Dan sungguh telah
dijelaskan kepadamu apa-apa yang diharamkan atasmu kecuali yang terpaksa kamu
memakannya.”
Bentuk pengambilan dalil dari ayat di atas
bahwasanya jikalau keselamatan jiwa pasien karena sakit atau luka sangat
tergantung kepada darah yang didonorkan oleh orang lain dan tidak ada zat
makanan atau obat-obatan yang dapat menggantikannya untuk menyelamatkan jiwanya
maka dibolehkan mendonorkan darah kepadanya. Dan hal itu dianggap sebagai
pemberian zat makanan bagi si pasien bukan sebagai pemberian obat. Dan memakan
makanan yang haram dalam kondisi darurat boleh hukumnya, seperti memakan
bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya.
a.
Boleh mendonorkan darah jika tidak menimbulkan
bahaya dan akibat buruk terhadap si pendonor darah, berdasarkan hadits Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam :
“Tidak boleh melakukan
sesuatu yang membahayakan jiwa dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
b. Donor
Darah dari Non Muslim
Paraulama sepakat bahwa darah adala benda
najis. Semua imam mazhab menyatkan hal yang sama dalam hal ini.
Namun mereka mengatakan bahwa darah yang najis
itu adalah darah yang keluar dari dalam tubuh kita. Sedangkan darah yang ada di
dalam tubuh dan sedang bekerja menyebarkan makanan, oksigen dan lainnya, tidak
dikatakan sebagai najis.
Sebab kalau darah di dalam tubuh kita
dinyatakan najis, berarti tubuh kita pun najis juga jadinya. Dan kalau tubuh
kita najis, bagaimana kita shalat, thawaf dan sebagainya?
Di sisi lain, para ulama juga menyatakan bahwa
tubuh manusia, kafir atau muslim, tidak termasuk benda najis. Kalau pun ada
ungkapan di dalam Al-Quran tentang kenajisan orang kafir, maka para ulama sepakat
bahwa yang dimaksud dengan najis di dalam ayat itu bukan najis secara hakiki,
namun najis secara majazi.
Tapi pada hakikatnya tubuh orang kafir bukan
benda najis. Buktinya mereka tetap dibolehkan masuk ke dalam masjid-masjid mana
pun di dunia ini, kecuali masjid di tanah haram.
Kalau tubuh orang kafir dikatakan najis, maka
tidak mungkin Abu Bakar minum dari satu gelas bersama dengan orang kafir. Kalau
kita belajar fiqih thaharah, maka kita akan masuk ke dalam salah satu bab yang
membahas hal ini, yaituBab Su”ur.
Di sanadisebutkan bahwa su”ur adami (ludah manusia)
hukumnya suci, termasuk su”ur orang kafir.
Maka hukum darah orang kafir yang dimasukkan ke
dalam tubuh seorang muslim tentu bukan termasuk benda najis. Ketika darah itu
baru dikeluarkan dari tubuh, saat itu darah itu memang najis. Dan kantung darah
tentu tidak boleh dibawa untuk shalat, karena kantung darah itu najis.
Namun begitu darah segar itu dimasukkan ke
dalam tubuh seseorang, maka darah itu sudah tidak najis lagi. Dan darah orang
kafir yang sudah masuk ke dalam tubuh seorang muslim juga tidak najis. Sehingga
hukumnya tetap boleh dan dibenarkan ketika seorang muslim menerima transfusi
darah dari donor yang tidak beragama Islam.
ô`tBur $yd$uômr&
!$uK¯Rr'x6sù $uômr&
}¨$¨Y9$# $YèÏJy_
4
“ Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Dari dalil-dalil tersebut tidak ada yang dapat
menyatakan bahwa darah dari seorang kafir yang mengandung unsur babi tidak
boleh digunakan, selama tujuannya demi kemashlahatan manusia, maka darah
siapapun dapat dipergunakan untuk siapapun, bergantung dari kecocokan darah
tentunya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para ulama
fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh manusia
dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan
pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan boleh dan tidaknya
transplantasi organ tubuh manusia.
Donor
darah adalah proses dimana penyumbang darah secarasuka rela diambil darahnya
untuk disimpan di bank darah, dan sewaktu-waktudapat dipakai pada transfusi
darah.
B.
SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan,
makalah yang kami susun inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dari masyarakat pembaca yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada Dosen pengajar diharapkan bimbingan
lebih untuk mengingatkan mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam
mengembangkan olmu masailul fiqhiyyah.
DAFATAR
PUSTAKA
Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998, Emansipasi
Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta.
Hakim,
Abdul Hamid,1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al
Fiqhiyah, Sa’adiyah Putera, Jakarta .
Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al
Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai
Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta.
Uman,
Cholil, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel
Suci, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar