BAB
I
PENGERTIAN
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Dari segi bahasa, ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi,
sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi.
Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah
kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para
sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam
al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan
dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan
al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun
324 H dalam usia 64 tahun).
Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa
Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah wal Jama’ah)
mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik).
Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah,
termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah
kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam
pemikiran kalam.
Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari
Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul,
serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara
praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku
dalam kehidupan sehari-hari.
وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا..
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7).
Dengan arti seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah
wal Jama’ah, pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan
tabiit-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw.
sampai hari kiamat kelak.
Al-Ustadz Abu al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam
karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa
al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan
yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya
dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu
meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits
(muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah).
Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan)
adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang
kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam
konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunnah
Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah
ahli bid’ah (ahl al-bid’ah).
Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam
istilah ahl al-sunnah berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum
Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih
dan menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah
umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan
khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih
terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8
(delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa,
ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di
bawah panji-panji Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis
(ishthilâhiy) dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah
Ahlussunnah wal Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau
formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya,
sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena
terkait dengan faktor historis.
Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan
dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang
bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka
pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti
substansinya.
Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah
adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga
paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok
yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari
pada naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya.
Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif
adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir
mendahulukan nashsh daripada akal.
Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini
melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran
murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah
dengan orthodox Sunni school. Di antara kelompok yang berhasil melakukan
pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari (Asy’ariyah).
BAB II
PERBEDAAN
PENDAPAT ASY’ARI DAN AL-MATURIDI
Keduanya Bersama-Sama Membendung
Paham Muktazilah Yang Dianggap Tidak Sesuai Dengan Paham Aswaja.Ali Rldo
Aliran Asyariyah termasuk dalam golongan Ahlussunnah Wal
Jamaah (Aswaja). Menurut Abul Qasim Nasyar, intelektual asal Mesir, golongan
ini sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam. Nasyar dalam bukunya
Syarah Ar-Risalah al-Qusyariyah,-penjelasan atas karya al-Qusyairi
an-Naisapur-Aswaja terus berhadapan dengan paham-paham lain dari waktu ke
waktu.
Pada zaman Ali bin Abi Thalib RA, jelasnya, Aswaja menghadapi
kelompok Khawarij dan Syiah. Pada akhir periode sahabat, sampai abad ke-2 H,
kelompok ini menghadapi gerakan Qadariah, Murjiah, dan Jahmivah. Namun, pada
abad ke-2 H itu, yang berjuang membentengi paham Aswaja berasal dari kalangan
ulama fikih. Sedangkan, kelompok Aswaja dari aliran kalam (teologi) baru lahir
pada abad ke-3 H.
Meskipun Al-Asyari dan Al-Maturidi sama-sama dari golongan
Ahlussunnah, tidak berarti keduanya sepakat dalam segala hal. Muhammad Tholhah
Hasan, dalam bukunya Wawasan Umum Ahlussunnah Wal Jamaah, mencatat beberapa
perbedaan pandangan antara kedua ulama besar itu.
Salah satu penyebab munculnya perbedaan itu karena keduanya
menganut mazhab fikih yang berbeda. Al-Asyari mengikuti mazhab Syafii,
sedangkan Al-Maturidi bermazhab Hanafi. Perbedaan keduanya tampak pada
masalah-masalah berikut ini.
1. masalah kewajiban iman
kepada Allah -dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib
beriman kepada Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau
beriman, ia telah berbuat dosa.
Sedangkan,
Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada
Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika
seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada
Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
2. masalah keterjagaan para
nabi dari perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa,
baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi
terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan
yang menyebabkan dosa kecil.
Kendati memiliki perbedaan, kedua aliran ini mempunyai pandangan yang
sama tentang hakikat Tuhan, wahyu, surga, dan lainnya. Bahkan, dalam paham
Ahlussunnah Wal Jamaah, kedua aliran ini merupakan satu kesatuan yang saling
menguatkan.
AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI
Aliran
Asyariyah termasuk dalam golongan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Menurut Abul
Qasim Nasyar, intelektual asal Mesir, golongan ini sudah tumbuh dan berkembang
sejak lahirnya Islam. Nasyar dalam bukunya Syarah Ar-Risalah
al-Qusyariyah,-penjelasan atas karya al-Qusyairi an-Naisapur-Aswaja terus
berhadapan dengan paham-paham lain dari waktu ke waktu.
Pada
zaman Ali bin Abi Thalib RA, jelasnya, Aswaja menghadapi kelompok Khawarij dan
Syiah. Pada akhir periode sahabat, sampai abad ke-2 H, kelompok ini menghadapi
gerakan Qadariah, Murjiah, dan Jahmivah. Namun, pada abad ke-2 H itu, yang
berjuang membentengi paham Aswaja berasal dari kalangan ulama fikih. Sedangkan,
kelompok Aswaja dari aliran kalam (teologi) baru lahir pada abad ke-3 H.
Meskipun
Al-Asyari dan Al-Maturidi sama-sama dari golongan Ahlussunnah, tidak berarti
keduanya sepakat dalam segala hal. Muhammad Tholhah Hasan, dalam bukunya
Wawasan Umum Ahlussunnah Wal Jamaah, mencatat beberapa perbedaan pandangan
antara kedua ulama besar itu.
Salah
satu penyebab munculnya perbedaan itu karena keduanya menganut mazhab fikih
yang berbeda. Al-Asyari mengikuti mazhab Syafii, sedangkan Al-Maturidi
bermazhab Hanafi. Perbedaan keduanya tampak pada masalah-masalah berikut ini.
Pertama,
masalah kewajiban iman kepada Allah -dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang
yang berakal wajib beriman kepada Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu.
Jika ia tidak mau beriman, ia telah berbuat dosa.
Sedangkan, Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
Sedangkan, Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
Kedua,
masalah keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi,
semua nabi terjaga dari dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan,
menurut Al-Asyari, semua nabi terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih
mungkin melakukan perbuatan yang menyebabkan dosa kecil.
Kendati
memiliki perbedaan, kedua aliran ini mempunyai pandangan yang sama tentang
hakikat Tuhan, wahyu, surga, dan lainnya. Bahkan, dalam paham Ahlussunnah Wal
Jamaah, kedua aliran ini merupakan satu kesatuan yang saling menguatkan.
Akan
tetapi dalam beberapa hal, jelas Tholhah Hasan, Al-Asyari mendapatkan kritik
karena pendapatnya terkesan berbau Jabbariyah. Namun, penghargaan layak
disematkan kepadanya lantaran ia membentengi akidah umat dari unsur-unsur yang
datang dari luar Islam.
Sebagai
contoh, kata Tholhah, teologi agama Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat dan
kepercayaan Yunani. Konsep ketuhanan Bunda Maria dalam Kristen merupakan
kelanjutan dari kepercayaan Yunani-Romawi tentang Dewi Minerva. Andalkan Islam
tidak melahirkan ulama ilmu kalam seperti Al-Asyari, sangat mungkin teologi
Islam juga akan dipengaruhi tradisi-tradisi dari Yunani. ed sya
BAB
III
IDEOLOGI PERTENGAHAN – TAWASUTH (AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH)
Menurut KH. Yusuf Hasyim, ideologi
transnasional baik dari Barat maupun Timur sama berbahaya. Sebab, liberalisme
dari Barat maupun Islam ideologis dari Timur toh sama-sama merusak. Masuknya
ideologi ini merusak tatanan kehidupan agama Islam di Indonesia dan bentuk
negara Indonesia .
Moderatisme (wasathiyah) adalah paham yang
selalu mencari jalan tengah dari dua kecenderungan, tidak condong (ekstrem)
kanan dan kiri. Oleh karena itu wajar, apabila salah satu profesor di Jepang
(Gus Mus, 2006) memprediksi, paham tradisional moderat di Indonesia akan
menjadi mainstream ideologi dunia di tengah eskalasi dan masifikasi (meningkat
dan bertambahnya) dua ideologi dunia yang sama-sama menyeramkan. Faham Aswaja
menganut pola pikir jalan tengah, antara faham ekstrem ‘aql (rasional) dan
ekstrem naql (skripturalis). Diwujudkan dengan pilihan sumber pemikiran bagi
warga NU tidak hanya mengacu atas al-Qur’an dan Hadis saja, tapi ditambah
kemampuan akal untuk mencerna permasalahan serta realitas yang terjadi secara
empirik. Pandangan tersebut merujuk dari para pemikir terdahulu sebagaimana
yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi sebagai
landasan teologis. Untuk bidang fikih, menganut mazhab empat, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Moderatisme akan membawa orang pada watak
yang fleksibel dan akomodatif, termasuk dengan budaya lokal. Salah satu doktrin
yang relevan dalam hal itu adalah adah muhakkamah, yakni suatu tradisi yang
berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Kaidah
tersebut dalam praktisnya mengakui budaya lokal dan memberikan sinaran dan
sentuhan keagamaan pada tradisi tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam satu ritual budaya, ada nilai lokal budaya dan universalitas ajaran Islam
yang sudah bersinergi dan terinternalisasi dalam budaya tersebut. Inilah Islam
Ahlussunnah Wal Jamaah yang berkarakter Nusantara.
Dalam konteks itu, kaidah adah muhakkamah
tersebut menjadi bukti kepedulian Islam terhadap pelestarian budaya leluhur
dengan strategi islamisasi budaya. Bukan dengan penghapusan budaya lokal,
dengan memunculkan budaya murni Arab atau arabisasi yang berpotensi besar
ditolak warga setempat.
Salah satu aktor integrasi keislaman dan
kebudayaan lokal tersebut adalah Sunan Kali Jaga yang menggunakan wayang
setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik wayang itu maupun lakonnya. Juga
gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer
menghasilkan tradisi Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon , Demak, Yogyakarta ,
dan Solo.
Sebagai sebuah kesimpulan, Ideologi Islam
transnasional baik dari barat maupun timur yang sama-sama ekstrem,satunya
ekstrem kanan dan yang satu ekstrem kiri adalah sebuah hal yang membahayakan
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia . Dengan faham Islam
Aswaja dan ideologi tengah, Islam akan terlihat sangat jauh dari kesan gerakan
Islam garis keras, tapi lebih pada wajah gerakan Islam moderat, toleran dan
inklusif. Dan Pancasila tidak bertentangan dengan hal itu, sehingga NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah suatu
hal yang sudah final.
Secara historis sikap inklusifisme Islam ini
dapat kita ketahui ketika Rosulullah SAW menciptakan piagam madinah (madinah
charter). Piagam madinah bukan semata-mata hasil dari Islam, tapi merupakan
hasil konsensus antara nabi dengan kelompok-kelompok lain yang ada pada waktu
itu. Jadi meskipun nabi pada waktu itu mempunyai misi dakwah untuk menyebarkan
Islam, namun nabi tidak kemudian mengklaim diri paling benar kemudian bersikap
eksklusif dan memaksa kepada orang lain untuk masuk Islam, tapi beliau justru
menghormati pihak-pihak lain yang berbeda dengan mengajaknya secara
bersama-sama untuk membangun masarakat.
KH Mustofa Bisri mengatakan semangat
keagamaan yang radikal itu dapat dinetralisasi dengan pemahaman ilmu agama yang
lebih mendalam dan luas. Banyak ajaran agama yang menawarkan kelembutan dan
kedamaian. Terbatasnya pemahaman agama ini terjadi karena proses belajar agama
yang tidak tuntas. Semangat keagamaan dapat harus diimbangi dengan keilmuan.
Lebih lanjut, KH Mustofa Bisri mengatakan ajaran sufisme dan dakwah dengan
pendekatan sufistik memberi peran besar dalam membangun kehidupan bersama yang
plural. Jika para ahli fikih(hukum) cenderung menggunakan pendekatan
legal-formal, para sufi mendekati persoalan dengan sudut pandang hati nurani.
Bagi para sufi, semua manusia adalah makhluk Tuhan yang perlu dihargai dan tak
perlu meributkan bentuk formal. Kita dapat melihat bagaimana Wali Songo
berdakwah menyebarkan ajaran Islam di bumi Nusantara ini dengan toleransi yang
tinggi. Para Wali Allah itu berdakwa dengan tidak langsung menjelekkan,
menyesatkan, agama yang ada saat itu. Tetapi mulai berdakwah dengan damai,
dengan memasukkan ajaran Islam dalam budaya mereka sepanjang budaya itu tidak
menyalahi syariat Islam.
Akhirnya, toleran tidak hanya sebuah sikap
bangsa Indonesia
yang tercermin dalam Pancasila tetapi juga menjadi inti ajaran Islam dalam
berdakwah. Marilah kita hargai perbedaan pendapat dan pemikiran. marilah kita
bersatu, sebagai umat Islam dan sebagai Bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).