BAB
I
PENDAHULUAN
A LATAR BELAKANG
Dengan
adanya sejarah peradaban
islam, yang khususnya peradaban islam Lombok,
menuntut kita untuk mengkaji secara spesifik
menggali secara dalam tentang perkembangan
Islam Wetu Telu pada tahun 1981-1995, guna mengetahui perkembangannya, agar dapat membedakan dengan islam sunni.
Oleh
kerena itu dengan hadirnya makalah yanag kami susun ini diharapkan para pendengar dapat memahami lebih jauh tentang perkembangan Islam Wetu Telu yang khususnya pada
tahun 1981-1995 agar kita bisa menjadikan khazanah keilmuan.
B RUMUSAN MASALAH
A.
Penganut dan Persebarannya.
B.
Sistem Nilai dalam Masyarakat.
C.
Pimpinan dalam Masyarakat.
D.
Sistem Pelapisan Sosial.
E.
Upacara-Upacara Ritual.
C TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud
dan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memahami perkembangan dari Islam Wetu Telu tersebut.
Artinya kita sebagai umat muslim harus mengetahui seluk beluk ajaran islam yang berda di lombok.
BAB
II
PERKEMBANGAN ISLAM WETU
TELU (1981-1995)
A. Penganut dan Penyebarannya
Perkembangan Islam
Wetu Telu pada tahun ini semakin minim yakni hanya terdapat di daerah Bayan
lombok barat, sedangkan di daerah lainnya sudah mengalami perubahan. Penganut Islam
Wetu Telu di wilayah Bayan sendiri sedang dan telah mengalami perubahan,
dari enam desa yang berada di kecamatan Bayan, ada empat desa yang mengalami
perubahan, sedangkan dua desa lainnya sedang mengalami proses perubahan.
Pekembangan
masyarakat Islam Wetu Telu seperti ini dipengaruhi oleh peranan pimpinan
formal masa kini yang selalu mengajak dan mendorong masyarakat untuk
memperbaiki taraf hidupnya, baik dari segi ekonomi, politik maupun kebudayaan
dan termasuk agama. Yangdimaksud oleh pimpinan formal adalah mereka yang
dipilih oleh masyarakat secara langsung berdasarkan UU No. 5 tahun 1979 tentang
pemerintahan kepala desa. (Raden Wirasaba)
Sementara
Jalaluddin Arzaki mengatakan bahwa perubahan masyarakat Islam Wetu Telu merupakan
suatu hal yang biasa, karena disebabkan oleh terlalu dominannya peranan yang
dimainkan oleh birokrasi pemerintah dalam merealisasikan rencana pembangunan
yang telah ditetapkan, juga peranan pondok pesantren tidak bisa diabaikan.
Keberadaan Islam
Wetu Telu dapat dikatakan sudah berkurang secara evolitiv, hanya saja
dibeberapa dusun seperti di Senaru, Segenter Dan Labang Kara masih didapatkan
pola pemukiman asli masyarakat Bayan. Islam Wetu Telu dari sempalan
dari agama islam sudah tidak ada lagi.
B. Sistem Nilai dalam Masyarakat
Nilai yang menjadi pegangan masyarakat Sukadana Bayan
sampai saat ini tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai warisan nenek moyangnya.
Seiring dengan perkembangan masyarakat Bayan, maka telah terjadi pemahaman dan
interpretasi terhadap nilai-nilai tersebut. Diantarnya adalah :
1. Konsep Ketuhanan Sepengkula.
Konsep ini mengacu kepada pengertian
bahwa Tuhan mengabulkan segala permintaan hambaNya dimanapun dia berada dan
melakuakan ibadah merupakan kewajiban personal.
2. Konsep Lenggeng.
Yaitu konsepsi tentang konsistensi
manusia dalam menjalankan seluruh nila-nilai moral dan sosial. Sikap ini
disimbolkan dalam pakaian yang serba putih, dan dalam sikap, prilaku yang
ditunjukkan dalam semua aspek kehidupan. Sedangkan konsistensi dan keikhlasan
diartikan sebagai sikap tanggung jawab, teguh pendirian, jujur dan ikhlas.
3. Sikap Gotong Royong.
Yakni budaya gotong royong yang disebut
berseroan, nyerampu, atau jejolok. Semakin berkembangnya kehidupan
masyarakat, baik dalam bidang politik, agama, dan ekonomimemberi pengaruh
terhadap nilai tersebut. Misalnya dalam pembangunan rumah dan pekerjaan sawah
yang sudah menggunakan sistem upah, dikarenakan semakin tingginya tingkat
kebutuhan dan tingkat kosumsi masyarakat. (Raden Kartapati)
4. Malik.
Malik ini adalah meruakan budaya
pantangan atau larangan yang tidak boleh dilanggar. Norma ini semacam
rambu-rambu untuk segala macam aktifitas manusia zaman dahulu. Namun sekarang
ini masyarakat Sukadana dan Bayan pada umumnya sudah tidak memperdulikan lagi
norma sosial tersebut. Mereka lebih takut dengan norma hukum formal yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Perubahan sikap masyarakat tersebut
sangat dipengaruhi oleh semakin besarnya peranan pemerntah dalam menerapkan
rencana pembangunan melalui REPELITA yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, disamping itu pula
dipengaruhi oleh banyaknya pemimpin tradisional. Kini tidak sedikit masyarakat Bayan
yang membangun rumah diluar komunitas semula yang disebabkan oleh semakin
bertambahnya anggota masyarakat dalam satu keluarga. Keluarnya sebagian
masyarakat Bayan ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap rasa kebersamaan
diantara mereka dan tidak lagi bergantung lagi kepada keluarganya. Dengan kata
lain sudah mulai tumbuh rasa individualisme diantara mereka.
C. Pimpinan dalam Masyarakat
Di desa sukadana kecamatan Bayan lombok barat, pimpinan
formal masa kini tidak jauh berbeda dengan pola kepemimpinan masa lalu,
termasuk penggunaan istilah bagi sebuah jabatan tertentu seperti istilah keliang
yang sudah tergantikan oleh istilah kepala kampung, atau istilah pemusungan yang
juga diganti oleh kepala desa. Dan jabatan tersebut diperoleh dari hasil
pemilihan langsung oleh anggota kanomannya. Hal ini sangat berbeda
dengan sistem tradisional di era tahun 1970-an.
Dalam menjalankan tugasnya seorang kepala desa atau
kepala kampung berhak mendapatkan imbalan berupa tanah bengkok, dan mempunyai
kebebasan untuk ikut serta dalam aktivitas gotong royong dan pemberian
sumbangan yang diharuskan oleh atasan mate ayah artinya gugur
kewajibannya untuk ngayah atau kerja rodi.
Hubungan antara pimpinan masyarakat dan anggotanya yang
lain biasa saja. Kedudukannya sebagai keliang menyebabkan lebih
berhati-hati dalam pergaulan, berbeda dengan pimpinan masa kini tidak ada
pantangan dalam masyarakat yang berkaitan dengan jabatannya, sedang
hubunagannya terhadap masyarakat pada saat ada permasalahan yang dianggap
penting.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pimpinan informal yaitu
kyai atau penghulu. Masyarakat Bayan mengenal tiga tingkatan kyai yaitu kyai
santri, kyai raden dan kyai biasa. Sejak tahun 1980-an kyai boleh dikatakan
hanya terbatas dalam hubungannya dengan huku-hukum syara’ seperti perkawinan,
penceraian serta tugas-tugas yang berhubungan dengan alam metafitistik.
Disanmping itu kyai sekarang bertugas membantu penghulu dan kepala desa dalam
menyelesaikan administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan undang-undang
perkawinan. Hubungan antara pimpinan formal dan informal adalah dalam bentuk
kerja sama.
D. Sistem Pelapisan Sosial
Sistem pelapisan sosial masa lalu dan masa kini bersumber
dari keturunan pancar laki-laki yang pada umumnya yang memiliki tingkat
kebangsawanan yang disebut wangse, ada tingkatan wangse resmi
suku sasak yaitu perwangse, triwangse dan jajar karang. Wangse tertinggi
adalah perwangse dengan menggunakan gelar raden untuk laki-laki
dan gelar dende untuk wanita. Wangse menengah yaitu triwangse
dengan gelar lalu untuk laki-laki dan baiq untuk gelar wanita,
sedangkan untuk wangse jajarkarang tidak mempunyai gelar apa-apa.
Jika seorang wangse raden mengadakan upacara, maka tempat
upacaranya diberi warna putih dan jumbai kiri berwarna hitam sedangkan tempat
upacaranya diberi tulisan “umbak-umbakring segara, muncar pondok
bangketkembang kerusak”.
Sejak rezim orde baru berkuasa , gelar-gelar
kebangsawanan di lombok semakin kehilangan arti. Peranan kaum bangsawan telah
hilang karena adat erosi yaitu proses penghancuran yang berlangsung dari
lembaga adat. Akibatnya para bangsawan pempunyai hak yang sama dengan kelas
yang lainnya dalam segala aktivitas kampung.
Dalam masyarakat suku sasak sekarang, pelapisan sosial
didasarkan pada kekuasaan, kekayaan, pendidikan dan keturunan. Lapisan
masayarakat Bayan saat ini terbagi menjadi dua yaitu lapisan elit dan lapisan jajarkarang,
akan tetapi hubungan antara lapisan keduanya sangatlah harmonis dan tidak ada
yang mendiskriminasikan antara yang satu dengan lainnya.
E. Upacara-Upacara Ritual
Upacara-upacara ritual pada masyarakat Bayan juga terjadi
perubahan yang sangat penting, terutama saat upacara yang berhubungan dengan
musim tanam serta sikap tatkala menghadapi musim kemarau dan musim hujan dengan
cara berkumpul untuk mengadakan perbaikan tanggul dan saluran yang ada. Begitu
pula saat mmenurunkan bibit dari lumbung, mulai mengolah tanah, mulai menanam
sampai musim panen tiba dan mereka tidak disibukkan oleh berbagai macam
upacara.
Perubahan masyarakat tersebut disebabkan oleh perubahan
pola pikir masyarakat yang sudah berpikir perekonomian dagang. Tumbuhnya
kesadaran masyarakat Bayan juga didukung oleh peranan pemerintah melalui
Departemen Peranian yang selalu mengadakan berbagai macam penyuluhan guna
meningkatkan hasil produksi pertanian, mulai dari pengenalan alat-alat modern
dan lainya.
Namun dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan
keagamaan, mereka tetap melaksanakannya sesuai dengan tingkat kehidupan ekonomi
masyarakat Bayan.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Pekembangan masyarakat Islam Wetu Telu pada tahun
1981-1995 sudah sangat minim..
Ø Nilai yang menjadi
pegangan masyarakat Sukadana Bayan sampai saat ini tidak jauh berbeda dengan
nilai-nilai warisan nenek moyangnya.
Ø Pimpinan masyarakat
Bayan yakni ada dua yaitu pimpinan formal dan informal.
Ø Sistem pelapisan
sosial masa lalu dan masa kini bersumber dari keturunan pancar laki-laki yang
pada umumnya yang memiliki tingkat kebangsawanan yang disebut wangse.
Ø Upacara-upacara
ritual pada masyarakat Bayan juga terjadi perubahan yang sangat penting,
terutama saat upacara yang berhubungan dengan musim tanam serta sikap tatkala
menghadapi musim kemarau dan musim hujan.
B. SARAN
Mengingat
manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami susun inipun masih banyak
kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari semua
mahasiswa dan dosen yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada Dosen pengajar diharapkan bimbingan lebih untuk
mengingatkan mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam
mengembangkan ilmu sejarah peradaban islam demi terwujudnya mahasiswa yang
kritis-tranpormatif.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Fadly Ahyar, M, Islam Lokal, STAIIQ Press, Lombok Tengah. 2008