Sabtu, 26 September 2009

MAKALAH ASWAJA


BAB I
PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Dari segi bahasa, ahlussunnah berarti penganut sunnah  Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun).
Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah wal Jama’ah) mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik).
Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam.
 Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا..
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7).

Dengan arti seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak.
Al-Ustadz Abu al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah).
 Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah).  
Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam istilah ahl al-sunnah berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih dan menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8 (delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di bawah panji-panji Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy) dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena terkait dengan faktor historis.
Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya.
 Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari pada naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya.  
Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashsh daripada akal.
Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school. Di antara kelompok yang berhasil melakukan pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari (Asy’ariyah).











BAB II

PERBEDAAN PENDAPAT ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

 

Keduanya Bersama-Sama Membendung Paham Muktazilah Yang Dianggap Tidak Sesuai Dengan Paham Aswaja.Ali Rldo

Aliran Asyariyah termasuk dalam golongan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Menurut Abul Qasim Nasyar, intelektual asal Mesir, golongan ini sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam. Nasyar dalam bukunya Syarah Ar-Risalah al-Qusyariyah,-penjelasan atas karya al-Qusyairi an-Naisapur-Aswaja terus berhadapan dengan paham-paham lain dari waktu ke waktu.
Pada zaman Ali bin Abi Thalib RA, jelasnya, Aswaja menghadapi kelompok Khawarij dan Syiah. Pada akhir periode sahabat, sampai abad ke-2 H, kelompok ini menghadapi gerakan Qadariah, Murjiah, dan Jahmivah. Namun, pada abad ke-2 H itu, yang berjuang membentengi paham Aswaja berasal dari kalangan ulama fikih. Sedangkan, kelompok Aswaja dari aliran kalam (teologi) baru lahir pada abad ke-3 H.
Meskipun Al-Asyari dan Al-Maturidi sama-sama dari golongan Ahlussunnah, tidak berarti keduanya sepakat dalam segala hal. Muhammad Tholhah Hasan, dalam bukunya Wawasan Umum Ahlussunnah Wal Jamaah, mencatat beberapa perbedaan pandangan antara kedua ulama besar itu.
Salah satu penyebab munculnya perbedaan itu karena keduanya menganut mazhab fikih yang berbeda. Al-Asyari mengikuti mazhab Syafii, sedangkan Al-Maturidi bermazhab Hanafi. Perbedaan keduanya tampak pada masalah-masalah berikut ini.
1.       masalah kewajiban iman kepada Allah -dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib beriman kepada Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau beriman, ia telah berbuat dosa.
Sedangkan, Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
2.       masalah keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan yang menyebabkan dosa kecil.

Kendati memiliki perbedaan, kedua aliran ini mempunyai pandangan yang sama tentang hakikat Tuhan, wahyu, surga, dan lainnya. Bahkan, dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah, kedua aliran ini merupakan satu kesatuan yang saling menguatkan.


AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

Aliran Asyariyah termasuk dalam golongan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Menurut Abul Qasim Nasyar, intelektual asal Mesir, golongan ini sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam. Nasyar dalam bukunya Syarah Ar-Risalah al-Qusyariyah,-penjelasan atas karya al-Qusyairi an-Naisapur-Aswaja terus berhadapan dengan paham-paham lain dari waktu ke waktu.
Pada zaman Ali bin Abi Thalib RA, jelasnya, Aswaja menghadapi kelompok Khawarij dan Syiah. Pada akhir periode sahabat, sampai abad ke-2 H, kelompok ini menghadapi gerakan Qadariah, Murjiah, dan Jahmivah. Namun, pada abad ke-2 H itu, yang berjuang membentengi paham Aswaja berasal dari kalangan ulama fikih. Sedangkan, kelompok Aswaja dari aliran kalam (teologi) baru lahir pada abad ke-3 H.
Meskipun Al-Asyari dan Al-Maturidi sama-sama dari golongan Ahlussunnah, tidak berarti keduanya sepakat dalam segala hal. Muhammad Tholhah Hasan, dalam bukunya Wawasan Umum Ahlussunnah Wal Jamaah, mencatat beberapa perbedaan pandangan antara kedua ulama besar itu.
Salah satu penyebab munculnya perbedaan itu karena keduanya menganut mazhab fikih yang berbeda. Al-Asyari mengikuti mazhab Syafii, sedangkan Al-Maturidi bermazhab Hanafi. Perbedaan keduanya tampak pada masalah-masalah berikut ini.
Pertama, masalah kewajiban iman kepada Allah -dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib beriman kepada Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau beriman, ia telah berbuat dosa.
Sedangkan, Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
Kedua, masalah keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan yang menyebabkan dosa kecil.
Kendati memiliki perbedaan, kedua aliran ini mempunyai pandangan yang sama tentang hakikat Tuhan, wahyu, surga, dan lainnya. Bahkan, dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah, kedua aliran ini merupakan satu kesatuan yang saling menguatkan.
Akan tetapi dalam beberapa hal, jelas Tholhah Hasan, Al-Asyari mendapatkan kritik karena pendapatnya terkesan berbau Jabbariyah. Namun, penghargaan layak disematkan kepadanya lantaran ia membentengi akidah umat dari unsur-unsur yang datang dari luar Islam.
Sebagai contoh, kata Tholhah, teologi agama Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat dan kepercayaan Yunani. Konsep ketuhanan Bunda Maria dalam Kristen merupakan kelanjutan dari kepercayaan Yunani-Romawi tentang Dewi Minerva. Andalkan Islam tidak melahirkan ulama ilmu kalam seperti Al-Asyari, sangat mungkin teologi Islam juga akan dipengaruhi tradisi-tradisi dari Yunani. ed sya

BAB III

IDEOLOGI PERTENGAHAN – TAWASUTH (AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH)


Menurut KH. Yusuf Hasyim, ideologi transnasional baik dari Barat maupun Timur sama berbahaya. Sebab, liberalisme dari Barat maupun Islam ideologis dari Timur toh sama-sama merusak. Masuknya ideologi ini merusak tatanan kehidupan agama Islam di Indonesia dan bentuk negara Indonesia.
Moderatisme (wasathiyah) adalah paham yang selalu mencari jalan tengah dari dua kecenderungan, tidak condong (ekstrem) kanan dan kiri. Oleh karena itu wajar, apabila salah satu profesor di Jepang (Gus Mus, 2006) memprediksi, paham tradisional moderat di Indonesia akan menjadi mainstream ideologi dunia di tengah eskalasi dan masifikasi (meningkat dan bertambahnya) dua ideologi dunia yang sama-sama menyeramkan. Faham Aswaja menganut pola pikir jalan tengah, antara faham ekstrem ‘aql (rasional) dan ekstrem naql (skripturalis). Diwujudkan dengan pilihan sumber pemikiran bagi warga NU tidak hanya mengacu atas al-Qur’an dan Hadis saja, tapi ditambah kemampuan akal untuk mencerna permasalahan serta realitas yang terjadi secara empirik. Pandangan tersebut merujuk dari para pemikir terdahulu sebagaimana yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi sebagai landasan teologis. Untuk bidang fikih, menganut mazhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Moderatisme akan membawa orang pada watak yang fleksibel dan akomodatif, termasuk dengan budaya lokal. Salah satu doktrin yang relevan dalam hal itu adalah adah muhakkamah, yakni suatu tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Kaidah tersebut dalam praktisnya mengakui budaya lokal dan memberikan sinaran dan sentuhan keagamaan pada tradisi tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam satu ritual budaya, ada nilai lokal budaya dan universalitas ajaran Islam yang sudah bersinergi dan terinternalisasi dalam budaya tersebut. Inilah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang berkarakter Nusantara.
Dalam konteks itu, kaidah adah muhakkamah tersebut menjadi bukti kepedulian Islam terhadap pelestarian budaya leluhur dengan strategi islamisasi budaya. Bukan dengan penghapusan budaya lokal, dengan memunculkan budaya murni Arab atau arabisasi yang berpotensi besar ditolak warga setempat.
Salah satu aktor integrasi keislaman dan kebudayaan lokal tersebut adalah Sunan Kali Jaga yang menggunakan wayang setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik wayang itu maupun lakonnya. Juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer menghasilkan tradisi Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Solo.
Sebagai sebuah kesimpulan, Ideologi Islam transnasional baik dari barat maupun timur yang sama-sama ekstrem,satunya ekstrem kanan dan yang satu ekstrem kiri adalah sebuah hal yang membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan faham Islam Aswaja dan ideologi tengah, Islam akan terlihat sangat jauh dari kesan gerakan Islam garis keras, tapi lebih pada wajah gerakan Islam moderat, toleran dan inklusif. Dan Pancasila tidak bertentangan dengan hal itu, sehingga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah suatu hal yang sudah final.
Secara historis sikap inklusifisme Islam ini dapat kita ketahui ketika Rosulullah SAW menciptakan piagam madinah (madinah charter). Piagam madinah bukan semata-mata hasil dari Islam, tapi merupakan hasil konsensus antara nabi dengan kelompok-kelompok lain yang ada pada waktu itu. Jadi meskipun nabi pada waktu itu mempunyai misi dakwah untuk menyebarkan Islam, namun nabi tidak kemudian mengklaim diri paling benar kemudian bersikap eksklusif dan memaksa kepada orang lain untuk masuk Islam, tapi beliau justru menghormati pihak-pihak lain yang berbeda dengan mengajaknya secara bersama-sama untuk membangun masarakat.
KH Mustofa Bisri mengatakan semangat keagamaan yang radikal itu dapat dinetralisasi dengan pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam dan luas. Banyak ajaran agama yang menawarkan kelembutan dan kedamaian. Terbatasnya pemahaman agama ini terjadi karena proses belajar agama yang tidak tuntas. Semangat keagamaan dapat harus diimbangi dengan keilmuan. Lebih lanjut, KH Mustofa Bisri mengatakan ajaran sufisme dan dakwah dengan pendekatan sufistik memberi peran besar dalam membangun kehidupan bersama yang plural. Jika para ahli fikih(hukum) cenderung menggunakan pendekatan legal-formal, para sufi mendekati persoalan dengan sudut pandang hati nurani. Bagi para sufi, semua manusia adalah makhluk Tuhan yang perlu dihargai dan tak perlu meributkan bentuk formal. Kita dapat melihat bagaimana Wali Songo berdakwah menyebarkan ajaran Islam di bumi Nusantara ini dengan toleransi yang tinggi. Para Wali Allah itu berdakwa dengan tidak langsung menjelekkan, menyesatkan, agama yang ada saat itu. Tetapi mulai berdakwah dengan damai, dengan memasukkan ajaran Islam dalam budaya mereka sepanjang budaya itu tidak menyalahi syariat Islam.
Akhirnya, toleran tidak hanya sebuah sikap bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila tetapi juga menjadi inti ajaran Islam dalam berdakwah. Marilah kita hargai perbedaan pendapat dan pemikiran. marilah kita bersatu, sebagai umat Islam dan sebagai Bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).




Jumat, 01 Mei 2009

MAKALAH PSIKOLOGI UMUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang sistem akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita. akan tetapi kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Apa yang telah kita pelajari dengan tekun justru sukar diingat kembali dan mudah terlupakan sebaliknya tidak sedikit pengalaman dan pelajarn yang kita tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Dalam belajar disamping siswa sering mengalami kelupaan, ia terkadang mengalami peristiwa negatif lainnya yang disebut jenuh belajar. Peristiwa jenuh ini kalau dialami siswa yang sedang dalam proses belajar (kejenuhan belajar) dapat membuat siswa merasa telah memubazirkan usahanya.
B.     Rumusan Masalah
Pada makalah ini, kami merumuskan masalah sebagai berikut : 
1.      Lupa
2.       Kejenuhan Belajar

C.     Tujuan Penulisan Makalah
Agar kita mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan lupa dan jenuh belajar. Kita juga bisa menangani dan mengatasai masalah-masalah yang terkait dengan lupa dan jenuh belajar.

BAB II
PEMBAHASAN
Peristiwa lupa dalam belajar Dalam proses belajar kita sering dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa tidak semua item-item materi pelajaran yang kita pelajari akan dapat diproduksi / direcall sewaktu item-item pelajar itu diperlukan. 
A.      LUPA
1.      Pengertian Lupa
Lupa (Forgetting) adalah hilangnya kemampuan untuk menyebutkan atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari.
2.      Faktor-faktor penyebab lupa
a.    Lupa dapat terjadi jika terjadi konflik-konflik antara item-item informasi atau materi pelajar yang ada di sistem memori seseorang.Gangguan-gangguan yang terjadi dalam memori seseorang ada 2 :  
1)      Proactive Interference (gangguan proaktif) Gangguan ini terjadi jika item-item atau materi pelajaran yang lama telah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru.
2)   Retroactive Interference Gangguan ini terjadi jika materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanennya siswa tersebut.
b.    Lupa dapat terjadi ketika terjadi tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja atau tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan: 
1)      Karena siswa kurang menyenangi item/materi.
2)      Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item. Informasi yang lama yang telah ada.
3)      Item informasi yang ada tertekan ke alam bawah sadar karena lama tidak digunakan.
c.    Lupa dapat terjadi karena perbedaan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali item tersebut.
d.   Lupa dapat terjadi karena adanya perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu.
e.    Menurut law of disuse (Hilgard dan Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan.
f.     Lupa dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak.

3.      Kiat mengurangi lupa
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa, diantaranya : 
1.      Overlearning (belajar lebih) yaitu belajar dengan melebihi batas penguasaan atas materi pelajaran tertentu.
2.      Extra study time (tambahan jam pelajaran) yaitu upaya penambahan alokasi waktu belajar. 
3.      Mnemonic device (muslihat memori) yaitu upaya yang dijadikan alat pengait mental untuk mamasukkan item-item informasi kedalam sistem akal siswa.
B.       KEJENUHAN BELAJAR
Secara harfiah arti jenuh ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun selain itu jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan. 
1.      Faktor-faktor penyebab jenuh belajar
a.       Seseorang yang kehilangan motivasi dan konsolidasi pada suatu level ilmu pengetahuan dan keterampilan.
b.      Muculnya kebosanan (borring) dan keletihan (fatique) karena kemampuan seseorangOtelah sampai pada batas maksimalnya dalam belajar. Menurut Cross dalam bukunya Psichology of learning keletihan ada 3 macam :
1)        Keletihan indera seperti mata, telinga dan lain-lain.
2)        Keletihan fisik karena kurang tidur, kurang sehat.
3)        Keletihan mental
c.       Persaingan yang ketat yang menuntut belajar keras.
d.      Keyakinan yang tidak sama antara standar akademik minimum dan standar yang ia buat sendiri.
2.      Cara-cara mengatasi jenuh belajar
Ada beberapa cara untuk menanggulangi jenuh belajar yaitu: 
a.       Istirahat dan mengkonsumsi makanan yang bergizi dengan takaran yang cukup.
b.      Menjadwal dengan baik proses belajarnya.
c.       Menata kembali lingkungan belajarnya.
d.      Memberi stimulasi baru dan motivasi agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat dari pada sebelumnya.
e.       Membuat kegiatan yang menimbulkan keakti_an siswa dengan cara mencoba belajar dan belajar lagi. 



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Lupa adalah hilangnya kemampuan menyebut atau melakukan kembali informasi dan kecakapan yang telah tersimpan dalam memori.
Secara harfiah arti jenuh ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun selain itu jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan.
B.     Saran
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia sadar, bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat kekurangan dan ketidak sempurnaan yang tentunya sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.
Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari saudara selalu kami nantikan.untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sihingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik tentunya dimasa masa yang akan datang.akhirnya kami ucapkan terima kasih sebanyak banyaknya.





DAFTAR PUSTAKA
Muchlis Shalihin, Buku Ajar Psikologi Belajar PAI, Stain Pamekasan, 2006
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Senin, 02 Februari 2009

MAKALAH KWN


BAB I
PENDAHULUAN

Pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks  keindonesiaan dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu.
Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis. Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.



BAB II
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MENJADI  LOKOMOTIF

Mometum Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik  yang sangat signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia. Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang sangat signifikan bagi investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia pascakemerdekaan.
Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks  keindonesiaan dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis. Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi. Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa. Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah Sehingga muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah nasionalisme yang lebih baik.
Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan
sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.
Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.
Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.
Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat manusia atas persamaan.
Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme.
Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa, termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.























BAB III
PENUTUP
A      KESIMPULAN
Mometum Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik  yang sangat signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi.
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad,Drs,H, Kewarganegaraan, CV Pustaka Setia, Bandung. 2000
Suparta, Munzier, Kebangkitan Nasionalisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo, persada.2002