Sabtu, 26 September 2009

MAKALAH ASWAJA


BAB I
PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Dari segi bahasa, ahlussunnah berarti penganut sunnah  Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun).
Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah wal Jama’ah) mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik).
Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam.
 Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا..
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7).

Dengan arti seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak.
Al-Ustadz Abu al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah).
 Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah).  
Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam istilah ahl al-sunnah berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih dan menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8 (delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di bawah panji-panji Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy) dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena terkait dengan faktor historis.
Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya.
 Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari pada naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya.  
Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashsh daripada akal.
Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school. Di antara kelompok yang berhasil melakukan pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari (Asy’ariyah).











BAB II

PERBEDAAN PENDAPAT ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

 

Keduanya Bersama-Sama Membendung Paham Muktazilah Yang Dianggap Tidak Sesuai Dengan Paham Aswaja.Ali Rldo

Aliran Asyariyah termasuk dalam golongan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Menurut Abul Qasim Nasyar, intelektual asal Mesir, golongan ini sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam. Nasyar dalam bukunya Syarah Ar-Risalah al-Qusyariyah,-penjelasan atas karya al-Qusyairi an-Naisapur-Aswaja terus berhadapan dengan paham-paham lain dari waktu ke waktu.
Pada zaman Ali bin Abi Thalib RA, jelasnya, Aswaja menghadapi kelompok Khawarij dan Syiah. Pada akhir periode sahabat, sampai abad ke-2 H, kelompok ini menghadapi gerakan Qadariah, Murjiah, dan Jahmivah. Namun, pada abad ke-2 H itu, yang berjuang membentengi paham Aswaja berasal dari kalangan ulama fikih. Sedangkan, kelompok Aswaja dari aliran kalam (teologi) baru lahir pada abad ke-3 H.
Meskipun Al-Asyari dan Al-Maturidi sama-sama dari golongan Ahlussunnah, tidak berarti keduanya sepakat dalam segala hal. Muhammad Tholhah Hasan, dalam bukunya Wawasan Umum Ahlussunnah Wal Jamaah, mencatat beberapa perbedaan pandangan antara kedua ulama besar itu.
Salah satu penyebab munculnya perbedaan itu karena keduanya menganut mazhab fikih yang berbeda. Al-Asyari mengikuti mazhab Syafii, sedangkan Al-Maturidi bermazhab Hanafi. Perbedaan keduanya tampak pada masalah-masalah berikut ini.
1.       masalah kewajiban iman kepada Allah -dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib beriman kepada Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau beriman, ia telah berbuat dosa.
Sedangkan, Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
2.       masalah keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan yang menyebabkan dosa kecil.

Kendati memiliki perbedaan, kedua aliran ini mempunyai pandangan yang sama tentang hakikat Tuhan, wahyu, surga, dan lainnya. Bahkan, dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah, kedua aliran ini merupakan satu kesatuan yang saling menguatkan.


AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

Aliran Asyariyah termasuk dalam golongan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Menurut Abul Qasim Nasyar, intelektual asal Mesir, golongan ini sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam. Nasyar dalam bukunya Syarah Ar-Risalah al-Qusyariyah,-penjelasan atas karya al-Qusyairi an-Naisapur-Aswaja terus berhadapan dengan paham-paham lain dari waktu ke waktu.
Pada zaman Ali bin Abi Thalib RA, jelasnya, Aswaja menghadapi kelompok Khawarij dan Syiah. Pada akhir periode sahabat, sampai abad ke-2 H, kelompok ini menghadapi gerakan Qadariah, Murjiah, dan Jahmivah. Namun, pada abad ke-2 H itu, yang berjuang membentengi paham Aswaja berasal dari kalangan ulama fikih. Sedangkan, kelompok Aswaja dari aliran kalam (teologi) baru lahir pada abad ke-3 H.
Meskipun Al-Asyari dan Al-Maturidi sama-sama dari golongan Ahlussunnah, tidak berarti keduanya sepakat dalam segala hal. Muhammad Tholhah Hasan, dalam bukunya Wawasan Umum Ahlussunnah Wal Jamaah, mencatat beberapa perbedaan pandangan antara kedua ulama besar itu.
Salah satu penyebab munculnya perbedaan itu karena keduanya menganut mazhab fikih yang berbeda. Al-Asyari mengikuti mazhab Syafii, sedangkan Al-Maturidi bermazhab Hanafi. Perbedaan keduanya tampak pada masalah-masalah berikut ini.
Pertama, masalah kewajiban iman kepada Allah -dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib beriman kepada Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau beriman, ia telah berbuat dosa.
Sedangkan, Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
Kedua, masalah keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan yang menyebabkan dosa kecil.
Kendati memiliki perbedaan, kedua aliran ini mempunyai pandangan yang sama tentang hakikat Tuhan, wahyu, surga, dan lainnya. Bahkan, dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah, kedua aliran ini merupakan satu kesatuan yang saling menguatkan.
Akan tetapi dalam beberapa hal, jelas Tholhah Hasan, Al-Asyari mendapatkan kritik karena pendapatnya terkesan berbau Jabbariyah. Namun, penghargaan layak disematkan kepadanya lantaran ia membentengi akidah umat dari unsur-unsur yang datang dari luar Islam.
Sebagai contoh, kata Tholhah, teologi agama Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat dan kepercayaan Yunani. Konsep ketuhanan Bunda Maria dalam Kristen merupakan kelanjutan dari kepercayaan Yunani-Romawi tentang Dewi Minerva. Andalkan Islam tidak melahirkan ulama ilmu kalam seperti Al-Asyari, sangat mungkin teologi Islam juga akan dipengaruhi tradisi-tradisi dari Yunani. ed sya

BAB III

IDEOLOGI PERTENGAHAN – TAWASUTH (AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH)


Menurut KH. Yusuf Hasyim, ideologi transnasional baik dari Barat maupun Timur sama berbahaya. Sebab, liberalisme dari Barat maupun Islam ideologis dari Timur toh sama-sama merusak. Masuknya ideologi ini merusak tatanan kehidupan agama Islam di Indonesia dan bentuk negara Indonesia.
Moderatisme (wasathiyah) adalah paham yang selalu mencari jalan tengah dari dua kecenderungan, tidak condong (ekstrem) kanan dan kiri. Oleh karena itu wajar, apabila salah satu profesor di Jepang (Gus Mus, 2006) memprediksi, paham tradisional moderat di Indonesia akan menjadi mainstream ideologi dunia di tengah eskalasi dan masifikasi (meningkat dan bertambahnya) dua ideologi dunia yang sama-sama menyeramkan. Faham Aswaja menganut pola pikir jalan tengah, antara faham ekstrem ‘aql (rasional) dan ekstrem naql (skripturalis). Diwujudkan dengan pilihan sumber pemikiran bagi warga NU tidak hanya mengacu atas al-Qur’an dan Hadis saja, tapi ditambah kemampuan akal untuk mencerna permasalahan serta realitas yang terjadi secara empirik. Pandangan tersebut merujuk dari para pemikir terdahulu sebagaimana yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi sebagai landasan teologis. Untuk bidang fikih, menganut mazhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Moderatisme akan membawa orang pada watak yang fleksibel dan akomodatif, termasuk dengan budaya lokal. Salah satu doktrin yang relevan dalam hal itu adalah adah muhakkamah, yakni suatu tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Kaidah tersebut dalam praktisnya mengakui budaya lokal dan memberikan sinaran dan sentuhan keagamaan pada tradisi tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam satu ritual budaya, ada nilai lokal budaya dan universalitas ajaran Islam yang sudah bersinergi dan terinternalisasi dalam budaya tersebut. Inilah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang berkarakter Nusantara.
Dalam konteks itu, kaidah adah muhakkamah tersebut menjadi bukti kepedulian Islam terhadap pelestarian budaya leluhur dengan strategi islamisasi budaya. Bukan dengan penghapusan budaya lokal, dengan memunculkan budaya murni Arab atau arabisasi yang berpotensi besar ditolak warga setempat.
Salah satu aktor integrasi keislaman dan kebudayaan lokal tersebut adalah Sunan Kali Jaga yang menggunakan wayang setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik wayang itu maupun lakonnya. Juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer menghasilkan tradisi Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Solo.
Sebagai sebuah kesimpulan, Ideologi Islam transnasional baik dari barat maupun timur yang sama-sama ekstrem,satunya ekstrem kanan dan yang satu ekstrem kiri adalah sebuah hal yang membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan faham Islam Aswaja dan ideologi tengah, Islam akan terlihat sangat jauh dari kesan gerakan Islam garis keras, tapi lebih pada wajah gerakan Islam moderat, toleran dan inklusif. Dan Pancasila tidak bertentangan dengan hal itu, sehingga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah suatu hal yang sudah final.
Secara historis sikap inklusifisme Islam ini dapat kita ketahui ketika Rosulullah SAW menciptakan piagam madinah (madinah charter). Piagam madinah bukan semata-mata hasil dari Islam, tapi merupakan hasil konsensus antara nabi dengan kelompok-kelompok lain yang ada pada waktu itu. Jadi meskipun nabi pada waktu itu mempunyai misi dakwah untuk menyebarkan Islam, namun nabi tidak kemudian mengklaim diri paling benar kemudian bersikap eksklusif dan memaksa kepada orang lain untuk masuk Islam, tapi beliau justru menghormati pihak-pihak lain yang berbeda dengan mengajaknya secara bersama-sama untuk membangun masarakat.
KH Mustofa Bisri mengatakan semangat keagamaan yang radikal itu dapat dinetralisasi dengan pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam dan luas. Banyak ajaran agama yang menawarkan kelembutan dan kedamaian. Terbatasnya pemahaman agama ini terjadi karena proses belajar agama yang tidak tuntas. Semangat keagamaan dapat harus diimbangi dengan keilmuan. Lebih lanjut, KH Mustofa Bisri mengatakan ajaran sufisme dan dakwah dengan pendekatan sufistik memberi peran besar dalam membangun kehidupan bersama yang plural. Jika para ahli fikih(hukum) cenderung menggunakan pendekatan legal-formal, para sufi mendekati persoalan dengan sudut pandang hati nurani. Bagi para sufi, semua manusia adalah makhluk Tuhan yang perlu dihargai dan tak perlu meributkan bentuk formal. Kita dapat melihat bagaimana Wali Songo berdakwah menyebarkan ajaran Islam di bumi Nusantara ini dengan toleransi yang tinggi. Para Wali Allah itu berdakwa dengan tidak langsung menjelekkan, menyesatkan, agama yang ada saat itu. Tetapi mulai berdakwah dengan damai, dengan memasukkan ajaran Islam dalam budaya mereka sepanjang budaya itu tidak menyalahi syariat Islam.
Akhirnya, toleran tidak hanya sebuah sikap bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila tetapi juga menjadi inti ajaran Islam dalam berdakwah. Marilah kita hargai perbedaan pendapat dan pemikiran. marilah kita bersatu, sebagai umat Islam dan sebagai Bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).